Aku mendudukkan diri di atas sofa dengan kedua tangan yang sibuk menggenggam dua gelas yang berbeda. Tangan kiriku memegang gelas berisikan air putih. Sedangkan tangan yang lain memegang gelas berisikan minuman berwarna cokelat. Jantungku berdegup lebih cepat dari ritme normal yang seharusnya berdetak. Tidak lain dan tidak bukan, seorang lelaki bernama Byantara Dhanurendra menjadi alasannya.
Jika harus jujur, aku merasa sedikit kesal—atau mungkin banyak. Aku sadar, sedari awal memang akulah pihak yang sok jual mahal. Dengan tegas aku mengatakan bahwa aku tidak mau seorang Byantara. Ketika mungkin—aku katakan mungkin ya—sebenarnya aku ingin Byantara ada di dalam hari-hariku. Seperti apa yang terjadi selama beberapa bulan ke belakang.
Aku tidak ingin lelaki itu merasa besar kepala. Merasa bahwa aku begitu menginginkannya dan begitu membutuhkannya. Ck! Tidaklah! Aku bisa, kok, tidur tanpa harus bertemu dulu dengannya. Tanpa harus menggenggam dulu kedua tangan yang sialnya seperti memiliki ramuan ajaib yang berhasil membuat aku tenang. Sebenarnya, apa pelet dan santet itu benar-benar ada, ya? Aku curiga.
Dan satu hal lainnya, aku benci diabaikan. Atau sebenarnya tidak juga, ya? Ketika aku diabaikan oleh teman-temanku atau mungkin anggota keluargaku sendiri, aku tidak merasa keberatan. Bahkan jika Alex sedang marah dan mengabaikanku, hal itu tidak pernah menggangguku barang sebentar pun. Aku menemukan kenyamanan ketika orang-orang menganggap aku tidak ada di sana. Akan tetapi ... mengapa hal itu tidak berlaku untuk seorang Byantara? Dibandingkan nyaman, justru aku merasa kesal. Sungguh-sungguh kesal. Aneh, bukan? Sepertinya Byantara benar-benar menggunakan pelet.
Berbincang tentang pesan yang aku kirim kepada Byantara setengah jam yang lalu, sebenarnya saat itu aku sama sekali tidak meminum kopi. Aku hanya ingin melihat responsnya. Apakah lelaki itu akan bersiteguh untuk diam atau tidak. Dan ternyata Byantara tetap menjadi Byantara. Lelaki itu sedikit marah—sepertinya, sih, sedikit. Kemudian aku berpikir sejenak, sesaat setelah aku membaca pesan Byantara yang mengatakan bahwa lelaki itu akan datang ke sini. Jika ia tahu bahwa aku berbohong perihal meminum kopi, aku yakin seratus persen, Byantara akan meledekku habis-habisan. Bahkan akan dibahasnya bersama dengan Ball Busters dan selalu diungkit sampai minimal sepuluh tahun ke depan.
Oleh karena itu, dengan solusi secepat kilat yang mampir di dalam kepala, aku membuat kopi dan meneguk sekitar satu per empat volume minuman. Tentu saja setelah beberapa menit, aku langsung merasakan reaksinya. Tanganku gemetaran—meskipun masih tergolong ringan—dan jantungku jadi berdebar.
Aku menyimpan kedua cangkir di atas meja saat aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Suara langkahnya terburu-buru dengan jarak langkah kaki yang lumayan lebar. Kuyakin seratus persen itu adalah Byantara. Aku hanya menatap balik dalam diam lelaki yang menghentikan langkahnya tidak jauh dari sofa di depanku. Raut wajahnya tidak dapat ditebak. Byantara tidak memasang ekspresi apa-apa. Lelaki itu hanya diam menatapku—sedikit mengintimidasi.
“What?” tanyaku lebih dulu.
Byantara mendudukkan diri di sofa depan tanpa memutuskan pandangan. “Any explain, Xav?”
Aku menaikkan sebelah alis. Xav? Panggilan yang menyebalkan. Sok asing. “About?”
“You said that you don’t want me, but you told me about that.” Dagu Byantara menunjuk ke arah cangkir yang berisikan minuman berwarna cokelat. “So, now you are admitting you want me, huh?” lanjutnya.
Aku terkekeh. “You wish.”
“My wish? Alright, then. Pulang aja gua sekarang.” Sesaat setelah mengatakan kalimat tersebut, Byantara bangkit dari duduknya. Lelaki itu tersenyum kepadaku. Aku kesal. Senyumnya meremehkan. Aku mengangkat cangkir yang Byantara maksud tadi. Belum sempat menyesap, suara lelaki itu menginterupsi. “You dare?” tanyanya.
Aku menarik sebelah sudut bibir, kemudian menyesap minuman tanpa memutuskan tatapan kami yang sedang berperang saat ini. Namun, respons Byantara tidak sesuai dengan apa yang aku kira. Bukannya marah, justru lelaki itu terkekeh. “Well, ngapain juga gua marah, ya? You aren’t mine, though. Gua balik, Xav.”
Byantara melangkah menjauh. Aku menggertakan gigi. “Maybe I do,” ucapku cepat.
Byantara berhenti dan menoleh. Senyumnya menjadi semakin menyebalkan. Akan tetapi, anehnya aku suka. “Maybe I do? About?” tanyanya.
Aku mengangkat kedua bahu pelan. “I don’t know.”
Byantara tertawa ringan dan mengangkat salah satu alisnya. “Really?”
Aku menatap lelaki itu sembari kembali menyesap satu teguk minuman dari dalam cangkir. Raut wajah Byantara berubah menjadi datar. Ia kembali duduk di sofa. Kedua tangannya mengeluarkan sesuatu dari kantong jaket.
“I knew that you would do that, so I brought this,” ucap Byantara. Aku berdeham meskipun tenggorokanku tidak kering. Byantara tahu aku akan tetap memilih untuk keras kepala. Oleh karena itu, lelaki itu akan melakukan hal yang sama. Satu kotak kecil yang berisikan kue kacang yang tersimpan di atas meja akan menjadi penentu dari ego kami yang sedang berlomba terbang setinggi mungkin yang mereka bisa raih. “A sip of coffee for a whole cookie, wanna make a bet? Siapa yang masuk rumah sakit duluan,” lanjutnya.
Aku menghela napas berat. Kondisinya jelas berbeda. Kemungkinan terburuk yang bisa terjadi kepadaku sebatas tidak akan bisa tidur karena tangan yang bergetar hebat dan jantung yang berdetak begitu cepat. Sedangkan bagi Byantara, lelaki itu bisa kehilangan nyawa.
“Byan.”
“Ah, kalau cuman gitu kayaknya nggak akan ngaruh sih. Pasti lo nggak minum kopinya lagi. How about I eat the whole cookie if you don’t want to admit it after five seconds?”
“Are you crazy?” tanyaku tidak habis pikir.
Byantara mengangguk. “Totally, over you.”
Aku terkekeh. Mencoba untuk terlihat tidak luluh atas pernyataannya yang tidak masuk akal itu. “What so special about that, sih?” tanyaku.
“Apa?”
“Maksa gue buat ngaku. Apa yang spesial dari dapetin sesuatu dengan paksaan?”
Byantara memiringkan kepalanya ke kiri. Ia terlihat menahan tawanya. “Maksa? Both of us know, nobody force it on either of us. Without our asking, the feeling is already there. I just want you to stop denial.”
“The feeling is already there? Kenapa lo bisa yakin kalau perasaan lo itu mutual?”
“Semua yang lu lakuin seminggu ini, speaks louder than your silence. Caper lu itu keliatan. Gimana lu sengaja ngomong ke Alex pas tahu dia lagi bareng gua. Lu sengaja soalnya lu tahu Alex pasti bilang itu ke gua. Terus gua bakal marah dan samperin lu kayak sekarang. Selalu kayak gitu, Vera. Your final strategy to get my attention is to make me mad,” jelas Byantara. Aku kembali berdeham. Aku pikir Byantara tidak akan menyadari hal itu—atau mungkin memang aku sedang bodoh karena melakukannya tanpa berpikir panjang. Ternyata lelaki itu menyadarinya. Lantas aku dilanda kebingungan karenanya. Aku harus merasa senang atau tidak?
“I don—”
Byantara mengambil satu kue dan menatapku. “I’ll start to count. One ... Two ...”
Sial, lelaki itu tahu aku akan kembali membantah semua yang baru saja dikatakannya. Dan aku pun lebih dari sekedar tahu, kali ini, Byantara tidak berbohong. Ia akan benar-benar melahap kue kacang itu kalau saja aku tidak mengatakannya dalam hitungan ke lima.
“Three ... Four ...”
Aku menelan saliva dengan susah payah. Tatapan Byantara menusuk dan menuntut. Apakah lelaki itu akan benar-benar melakukannya?
“Five ... Alright.” Byantara memasukkan kue ke dalam mulutnya tanpa memutuskan pandangannya denganku. Aku melebarkan kedua mata kala lelaki itu benar-benar mengunyahnya. Lantas aku segera bangkit dan menghampirinya. Aku pukul punggungnya berulang kali. “Oke! Oke! I want you, Byantara. I really do. Keluarin kuenya, you stupid ass!”
“Say it again,” pinta Byantara.
Aku memiringkan kepala ke samping. “What?”
“Say it again, louder. Until the world could hear how badly you want me.”
“I want you, Byantara. I want you,” ucapku dengan penegasan di setiap kata yang terlontar.
Aku pikir Byantara akan berhenti mengunyah setelah aku mengatakannya. Namun, kenyataannya justru berhasil membuat darahku mendidih. Lelaki itu tetap mengunyah, bahkan sampai ditelannya satu kue kacang itu!
“ARE YOU CRAZY? LO BISA MATI!” kesalku sembari kembali menepuk-nepuk punggungnya. Satu usaha yang sebenarnya sia-sia.
Byantara terkekeh dan mengecup punggung tanganku. “It’s not a peanut cookie, it just looks like, Hun.”
Sial! Lelaki itu membohongiku. Mungkin inilah yang didefinisikan sebagai pasangan adalah cerminan diri? Atau mungkin, inilah definisi dari karma itu sendiri? Lelaki itu membohongiku persis seperti apa yang aku lakukan sebelumnya.
Aku mendesah lega. “I hate you.”
“I love you more. Ambil jaket sana, ayo keluar,” ajak Byantara sesaat setelah ia bangkit dari duduknya. Aku mengerutkan kening. Keluar? Lelaki itu mengajakku pergi ke mana?
“Ke mana?”
“Barcode, tadi udah janjian sama anak-anak, main ke sana.”
“Ya udah, lo aja sana,” tolakku halus. Aku tidak mau bertemu dengan Ball Busters. Mereka pasti akan menggodaku habis-habisan. Memikirkannya saja sudah membuat aku merasa kesal.
“Sekarang malam minggu, masa nggak keluar sama pacar, Xav?”
Aku menonjok dada Byantara pelan. “Pacar apaan? Stop manggil gue pake ‘Xav’, nggak cocok.”
“Cocok-cocok aja kok.”
“Nggak cocok!”
“Kalau mau dipanggil kayak sebelumnya, jadi pacar dulu makanya.”
Aku memutar bola mata malas. “Terserah, lo pergi sendiri aja sana,” tolakku.
Aku membalikkan badan dan hendak meninggalkan lelaki itu. Namun, pergerakan Byantara lebih cepat. Saking cepatnya, aku tidak menyadari bahwa kedua tangannya sudah melingkar di pinggangku. “Grumpy, Vera!” godanya.
“Lepas!”
“Ngomel terus, padahal sama-sama kangen juga.”
“Nggak kangen,” sergahku. Perkataan itu tidak selaras dengan gerakan tanganku yang sedang mengelus pelan lengan Byantara.
“Ayo ke Barcode, keburu malem.”
Aku menggeleng pelan. “Nggak mau.”
“Kenapa?”
“Males ke sana.”
“Kan gua yang nyetir, lu tinggal duduk manis.”
“Nggak mau ketemu yang ada di sana,” aduku.
Hening. Tidak ada jawaban langsung dari Byantara. Mungkin lelaki itu sedang berpikir. Tidak mungkin ia tidak menangkap maksud dari perkataanku, kan?
“Good God, lu takut diceng-cengin ya?”
Aku mendengus sebagai jawaban.
“Mereka nggak akan berani kalau ada gua, jadi aman. Nggak akan kenapa-kenapa. Cepet ambil jaket sana.”
“Ya, ini pelukannya lepas dulu,” pintaku.
“Jalan sambil pelukan aja, kan bisa.”
Aku menyubit pelan lengan Byantara. “Ngaco!”
“Ya udah, gini dulu bentar. I miss you so bad.”
Malam ini bisa dikategorikan sebagai malam yang berbeda dari malam-malam Minggu yang biasanya terlewati. Bukan karena kami baru saja berbaikan. Akan tetapi, karena aku mendapati motor hitam Byantara terparkir di garasi alih-alih mobil kesayangannya.
“Tumben pake motor?” tanyaku heran.
“Tadi macet. Kalau pake mobil, lama sampenya. Nanti lu keburu mikir yang aneh-aneh.”
Aku mengerutkan kening. “Aneh gimana?”
“Banyak anehnya. Jaketnya tutup sampe atas, nanti masuk angin.”
Aku menoleh ke arah ritsleting jaketku yang memang tidak ditarik sampai atas. Baru saja aku akan menariknya, tangan Byantara sudah lebih dulu melakukannya. Kemudian lelaki itu memasangkan helm di kepalaku dengan hati-hati. Tidak lupa ia juga menyalakan intercom yang ada di samping kiri helm. Byantara juga segera memasang helm miliknya.
“Gue pikir lo nggak punya yang kayak gini,” ucapku sesaat setelah mendudukkan diri di jok belakang. Syukur hari ini Byantara menggunakan motor aerox, sehingga aku bisa duduk nyaman tanpa merasakan sakit pinggang.
“Pegangan,” pinta Byantara. Tanganku memegang kedua sisi jaketnya. Lelaki itu berdecak. “Dimasukin ke kantong jaket, biar nggak dingin tangannya. Peluk gua.”
Aku berdecak sembari melakukan apa yang Byantara minta. Lelaki itu banyak maunya. “Gue tadi nanya, Byan.”
“Punya, soalnya kan suka sunmori bareng anak-anak.”
“Sunmori?”
“Sunday morning ride,” jelas Byantara sembari membelokkan motor ke arah kiri, masuk ke jalan utama.
“Bukannya biasanya pake mobil?” Aku ingat Byantara beberapa kali laporan sedang pergi bersama Ball Busters di Hari Minggu. Akan tetapi, biasanya mereka akan menggunakan mobil.
“Kadang pake motor juga, kalau riding ke Lembang.”
Aku mengerutkan kening. “Jauh banget? Nggak capek?”
“Nggak akan capek, kalau perginya sambil dipeluk lu kayak gini,” jawab Byantara.
Aku menepuk perutnya. “Yang bener jawabnya!”
“Lah, I’m not joking. Ikut makanya besok, mau nggak?”
“Pagi-pagi enaknya bobo.”
Byantara mengangguk. “Iya, bobo aja di punggung gua, kan bisa.”
Aku terkekeh. Jawaban yang benar-benar di luar nalar. Bukannya menyuruh untuk tidur di kasur dengan nyaman, justru Byantara memintaku untuk tidur di punggungnya?
“Berat dong nanti punggung lo.”
“Nggak seberat hari-hari yang dilewatin pas lu lagi denial abis,” tutur Byantara.
Lagi-lagi aku menepuk perut Byantara dengan kesal. “Ungkit aja terus.”
Byantara tertawa sembari memberhentikan motor di belakang zebra cross. Menunggu lampu lalu lintas merah berubah menjadi hijau. “Pake mobil deh besok, ikut ya.”
“Pake motor juga nggak apa-apa. Ternyata lebih seru.”
“Seru kenapa?” tanya Byantara sembari kedua tangannya mengelus lututku dengan lembut.
“Kalau naik motor gini, bisa liat orang-orang lebih deket. Bisa liat di motor sebelah ada keluarga yang lagi nyanyi bareng. Bisa liat yang di seberang jalan sana, ada penjual yang lagi siapin makanan buat pembelinya. Bisa liat yang lagi ngobrol di lantai dua cafe, ya, samar-samar sih. Tapi intinya, kita bisa perhatiin lebih banyak hal dibandingin pas naik mobil,” ungkapku.
Byantara mengangguk dan kembali mengendarai motor. Membawa kedua raga kami membelah jalanan Kota Jakarta yang sedang padat-padatnya. “And what is all of that for?”
“Hm ... buat nyari alasan aja, mungkin? The art of noticing. To be curious about what people do for a living.”
“The art of noticing?” tanya Byantara bingung.
Aku mengangguk. “Rob Walker said that every day is filled with opportunities to be amazed, surprised, enthralled. To experience the enchanting everyday. To stay eager. To be, in a word, alive. Kalau lagi liat-liat orang lain kayak gini, bikin kita sadar kalau kita nggak sendirian.”
Tangan kananku keluar dari kantong jaket dan menunjuk rendah ke arah yang ingin aku maksud. Entah Byantara menangkapnya atau tidak.
“Contohnya penjual minuman keliling itu. Mungkin dia ngerasa kalo apa yang lagi dia lakuin itu bisa bikin orang punya banyak pemikiran. Atau mungkin worst case-nya, bikin dia ngerasa nggak mau lakuin itu lagi. Atau mungkin juga, dia ngerasa cukup dan bahagia dengan apa yang dia lakuin, terlepas dari pro dan kontra terhadap hal yang lagi dia kerjain sekarang. Poinnya itu, dari beberapa prasangka yang baru aja gue sebutin, dia tetep jalanin hari-harinya. Tetep bangun dan lakuin aktivitas yang sama, meskipun mungkin, isi kepalanya itu beda-beda setiap hari. Kadang isinya bikin dia semangat, soalnya pendapatan hari sebelumnya itu banyak. Tapi kadang juga bisa bikin dia ngerasa mau nyerah aja, gara-gara banyak bayaran yang belum ada uangnya. Jadi, meskipun mungkin masalah yang dihadapin setiap hari itu berbeda-beda, dan belum tentu dapet solusinya, dia tetep bangun kayak biasa dan jalanin harinya. Dan bukan cuman dia doang, kan? Ada banyak orang lain juga yang bawa masalahnya masing-masing, itu bikin kita sadar kalau kita nggak sendirian.”
Byantara memarkirkan motornya di depan Barcode. Terlihat juga mobil Januar dan Damian ada di samping kami. Aku turun dari motor dan membuka helm. Byantara juga melakukan hal yang sama dan menyimpan helmnya di atas spion. “So … noticing others, attracts our curious minds, while also offering the desire to continue living?” tanyanya.
Aku mengangguk. “To keep us fighting for the word ‘alive’. That’s the art of noticing.”
“What an insightful convo of the night,” ucap Byantara diiringi dengan senyuman tipis. Lelaki itu mengambil helm dari tanganku dan menyimpannya di spion yang lain. “Mau jajan dulu nggak?” lanjutnya.
Aku menelusur ke arah luar. Masih terlihat beberapa gerobak penjual makanan yang sibuk didatangi oleh beberapa pembeli baru. Aku menggelengkan kepala. “Nggak usah, langsung masuk aja.”
“Alright, let’s go,” ucap Byantara sembari mendorong bahuku dari belakang.
“Ada siapa aja?”
Byantara melingkarkan ibu jari dan telunjuknya di pergelangan tanganku. Spontan lelaki itu terkekeh. “Lagi rame kayaknya, soalnya tadi Januar bilang meja di dalem penuh. Tangan lu kenapa kecil banget, sih? Liat, tuh, sekecil pipa enam senti doang. Ngeri remuk.”
Aku mendengus sebal. “Bukan tangan gue yang kekecilan, tapi tangan lo yang kegedean. Punya tangan kok nyaingin Thanos.”
“Ngalahin Thanos juga nggak akan cukup buat bikin lu berhenti denial.”
“Tuh, kan! Ngungkit lagi,” gerutuku.
Byantara tertawa. “Marah-marah mulu, deh, Xav!”
“Pulang aja ya, gue?”
“Gimana pulangnya? Kan perginya sama gua.”
“I have a thousand ways to make it happen. Banyak yang mau anterin gue pulang di sini. Brian misalnya,” tuturku tidak mau kalah dengan argumennya.
Byantara mengecup kepalaku dari belakang. “Jangan nakal ah,” peringatnya.
“Ya makanya lo panggil yang bener.”
“Itu udah bener, nama lu Xavera, kan?”
Aku menoleh ke belakang dengan tatapan sinis. “Ya udah mau jadi biasa aja?”
Lagi-lagi Byantara tertawa. Suara renyah itu terdengar menyebalkan. Akan tetapi, aku merindukannya. “Jadi, lu sekarang mau yang lebih dari biasa aja, nih?” godanya.
“Fuck off,” ucapku sembari menghempaskan kedua tangannya dengan kesal.
“Lah, udah balikan ternyata?” tanya Hagia saat menyadari kedatangan kami ke meja mereka. Byantara menyapa ketiga temannya itu. Sedangkan aku hanya diam. Mempersiapkan diri untuk melalui malam panjang yang aku yakini tidak akan berlalu dengan mulus—seperti apa yang aku harapkan.
“Cemberut amat tuh muka,” komplain Damian sembari melayangkan tos tangan ke arahku. Aku membalasnya dengan malas. “Terus kenapa?”
Hagia menghampiriku. “Dia ngapain, Xav? Sampe akhirnya jadi lengket lagi begini?”
“Pertanyaan yang bener itu, dia ngapain sampe akhirnya gua dateng ke rumah dia, Gi,” timpal Byantara. Aku memutar bola mata malas. Perkataan Byantara tadi tidak dapat dipercaya. Memang sih, mereka tidak akan berani menggodaku kalau Byantara melarangnya. Namun, keadaan akan menjadi lebih kacau jika Byantara ikut di dalamnya.
“Dia ngapain emang?” tanya Januar.
“Biasalah pake tri—”
Segera aku bungkam mulut Byantara dengan tanganku. “Diem, nggak? Tadi katanya apa?”
Byantara mengecup telapak tanganku. “Aight, okay,” ucapnya dengan suara yang teredam. Aku menutup mata menahan rasa kesal. Wajah tengilnya itu rasanya ingin aku cabik-cabik detik ini juga. Tengil tapi ganteng—heran.
“Anak yang kemarin lu tanyain, ada di ujung meja. Mau lu apain dah?” tanya Hagia tiba-tiba. Aku mengerutkan kening bingung.
“Anak mana dia?” Byantara menanggapi. Raut wajahnya berubah menjadi serius. Begitu pula dengan tiga wajah lainnya di hadapanku.
Hagia terdiam berpikir sejenak. “SMA mana, ya? Gua lupa nanya sih kemarin.”
Aku mendesah. Semua perkataan itu bisa kutebak ujungnya mengarah ke mana. Hari ini sudah berjalan terlalu rumit. Aku tidak mau menghadapi kerumitan lainnya lagi. Oleh karena itu, tanpa mengatakan apa pun, aku memeluk Byantara dengan erat.
Byantara menunduk. “Kenapa?”
“Jangan berantem.”
“Hah?”
“Lo jangan berantem.”
“Siapa yang mau berantem?” tanya Byantara bingung. Aku pun mengerutkan kening. Sama bingungnya. “Itu tadi nanya-nanya gitu buat apa?” tanyaku.
“Mau kenalan, kemarin dia main mole jago soalnya.”
Aku menggigit bagian bawah bibirku sedikit kencang. Ck! Lagian kenapa, sih, kalimat yang Hagia katakan itu ambigu? Aku kan jadi salah menyangka.
Byantara tertawa. “Malu, ya? Salah ngira?”
Aku mengangguk sembari semakin mengeratkan pelukanku. Kalau aku lepas sekarang, sudah dapat dipastikan, Januar, Damian, dan Hagia akan menggodaku habis-habisan.
“Ya udah sembunyi dulu aja, Byantara bolehin.”
“Kenapa dah? Si Xav kenapa?” tanya Hagia kepo. Aku mencubit pelan pinggang Byantara sebagai kode agar lelaki itu tidak jahil dan mengatakan yang sebenarnya.
“Kangen gua banget katanya,” jawab Byantara asal. Aku mendengus sebal. Jawaban palsunya pun tetap menyebalkan. Akan tetapi, itu seratus persen lebih baik dibandingkan yang sebenarnya. Toh, memang benar adanya. Aku semakin menenggelamkan kepalaku di ceruk leher Byantara. Aku selalu menyukai wangi parfumnya. Wangi musk yang dipadukan dengan cendana. Wanginya segar namun tidak menusuk. I could be in this position all day long. I love it.
“Pulang jam sebelas nggak apa-apa, kan? Soalnya sekarang udah jam sembilan.”
Aku mengangguk. “Nggak apa-apa. Kenapa gitu?”
Byantara mengecup pucuk kepalaku. “Mau ngabarin Alex kalau yang namanya Xavera lagi Byantara culik sampe jam sebelas.”
“Xav, main nggak?” tanya Damian. Aku melepaskan pelukan dan menoleh ke arahnya. “Nggak, kalian duluan aja,” tolakku.
Byantara membawa raga kami untuk duduk di sofa. Januar tidak terlihat. Mungkin sedang menghampiri daerah bar.
“Gua main dulu mole bentar, ya?” izin Byantara.
Aku mengangguk memberikan izin. Kemudian lelaki itu membuka aplikasi Mobile Legend yang terpasang di ponselnya. Aku menelusuri ke arah sekitar. Setiap meja memang terisi dan cukup padat penghuninya. Seperti biasa, malam Minggu yang sibuk.
“Gue ngantuk,” tuturku sembari menguap. Entah kenapa, rasa kantuk itu begitu menyerang dahsyat. Apa karena sekarang Byantara sedang ada di sampingku, ya?
Byantara menatapku. “Mau pulang sekarang aja?”
“Nggak.”
“Terus gimana?”
“Pinjem ini buat bobo, boleh nggak?” tanyaku sembari menunjuk dadanya.
Byantara mengangguk dan melebarkan tangan kanannya. “Sini.”
Aku masuk ke dalam dekapannya. Tanganku melingkar di pinggang Byantara. Lelaki itu kembali memegang ponsel dengan kedua tangan. Membuat aku benar-benar terkunci di dalam pelukannya. “Ini tuh mainnya serang-serang tower gitu?” tanyaku.
“Nggak gitu aturannya, tapi mirip-miriplah.”
“Kalau gue gangguin pas main, marah nggak?” tanyaku jahil.
“Cobain aja.”
Aku memainkan layar di hadapanku dengan asal. Meskipun permainan belum dimulai, beberapa tombol tertekan dan menampilkan layar yang baru. Cup! Byantara mengecup keningku. “Nggak marah, tapi setiap lu ganggu berarti gua cium, gimana?” ucapnya.
Aku menggeleng pelan. “Nggak, ah. Nggak menarik.”
“Iya sih, yang menarik itu tadi ada yang tiba-tiba peluk. Katanya takut ada yang berantem,” goda Byantara. Aku mencubit pinggangnya dengan kencang.
“Diem, nggak?”
Lelaki itu merintih pelan. “Aw! Iya, iya, diem ini.”
“What do you think about love language?” tanyaku tiba-tiba.
“Love language is love language.”
Lihat, jawabannya selalu menyebalkan!
“Ck, bukan gitu maksudnya. Gini deh, love language lo kan physical touch. Terus misalnya top love language gue itu word of affirmation, itu berarti beda, kan?”
Byantara mengangguk. “Iya, terus?”
“Terus berarti mungkin aja gue ngerasa nggak disayang sama lo, soalnya beda love language, kan?”
“Correct.”
“Terus katanya just because you aren’t showing love the way I want, doesn’t mean you love me any less. Tapi kan, just because you love me, doesn’t mean I feel loved by you juga. Menurut lo gimana?” jelasku.
“Sesimple masalahnya di komunikasi aja. Komunikasiin ke pasangan kalau lu ngerasa nggak disayang dengan cara yang lu mau. Relationship is about give and take, kan?”
Aku mendengus. “Kenapa jawabannya padat, sih? Kan jadi nggak bisa didebatin.”
Byantara terkekeh. “Kan ini lagi main, Sayang. Debatnya nanti dulu, ya,” ucapnya sembari mengelus kepalaku pelan.
“Ya udah main aja dulu.”
“Lu ngerasain gitu?”
Aku mendongak. “Apa?”
“You don’t feel loved by me.”
“Nggak. I feel loved kok, soalnya semua love language lo kasih.”
“Good,” ucap Byantara sembari tersenyum.
Aku membenarkan posisi kepala, mencari posisi ternyaman. Aku tidak ingin mengganggu Byantara lebih lama. Rasa kantuk pun semakin menyerang. Perlahan aku mulai menutup mata.
“Vera,” panggil Byantara.
“Hm?”
“Can you just disregard the world and run to what you know it’s real?”
Aku mengerutkan kening. “Maksudnya?”
“I’ll be your safety net. So, take a chance with me, ya?”